Cerpen - Mendung di Langit Biru


Aku mengangkat pistolku. Tanganku bergetar hebat. Angin malam yang cukup dingin membuat tatapan mataku semakin pedih. Bagaimana tidak? Tepat di hadapanku kini adalah seseorang yang amat kusayangi. Dialah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Namun, apa yang bisa kulakukan? Dia adalah seorang buronan. Adik kandungku adalah seorang buronan! Bagaimana bisa seorang kakak seperti aku akan dengan sempurna melayangkan peluru ke dadanya. Tidak, bagaimana bisa seorang kakak akan sanggup menodongkan pistolnya tepat pada adikknya? Bagaimana bisa?

***

Hari ini, matahari begitu tenang. Tak seperti biasanya yang dengan gencarnya memancarkan sinar yang mungkin bisa digunakan untuk mendidihkan air. Tepat jam 2 nanti aku harus pergi bekerja. Masih ada setengah jam yang bisa aku gunakan untuk bersantai. Aku sungguh bosan dirumah. Seketika mataku tertuju pada sebuah foto yang berada di atas meja kerjaku. Foto yang didalamnya beberapa anak yang duduk berkelompok tersenyum polos beserta seorang ibu yang terlihat berusia lebih dari setengah abad. Tersirat kebahagiaan yang teramat nyata. Aku rindu saat-saat aku masih berada di panti asuhan. Aku rindu mereka semua.

Aku Ned. Seseorang yang dibuang orang tuanya 26 tahun silam dan ditemukan oleh seorang wanita yang tulus hatinya. Wanita yang tak lain adalah kepala yayasan panti itu. Wanita yang bersedia merawatku, menjagaku, dan menyayangiku seperti putranya sendiri. Wanita yang memperbolehkan dirinya dipanggil "ibu" oleh anak orang lain. Sudah lama sekali aku tak mengunjunginya. Oh iya, aku diadopsi oleh keluarga kaya pada saat aku berumur 12 tahun. Beruntung keluarga yang mengadopsiku adalah keluarga yang memiliki latar belakang baik. Aku dididik secara lembut dan penuh kasih sayang. Hingga suatu ketika keluarga yang mengadopsiku itu mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan mereka tewas seketika. Dan otomatis aku adalah ahli waris dari seluruh kekayaan mereka. Namun hal itu tak mebuatku buta akan harta. Aku hidup dengan sederhana dan menyumbangkan sebagian harta itu untuk yayasan amal.

Dan disinilah aku sekarang. Hidup menjadi seorang polisi adalah cita-cita yang sukses kuraih. Dan lagi, aku sedang dalam proses pencarian informasi adik kandungku, Sam . Dari informasi yang kukumpulkan, dia adalah seorang yang sering melakukan tindak melawan hukum. Sungguh berbeda denganku yang berjuang untuk menegakkan hukum. Dia dituduh telah melakukan pengeboman di sebuah hotel bintang lima. Rasanya aku tidak percaya saat pertama kali mendengarnya. Namun aku sadar walaupun kami saudara, kami hidup di lingkungan yang berbeda. Diam-diam aku terus mengamati setiap gerak-geriknya.

Sudah sepuluh menit berlalu sejak kepala polisi memanggilku. Tak biasanya dia terlambat seperti ini. Namun, belum sempat aku menyelesaikan rangkaian spekulasiku, kepala polisi datang dengan membawa setumpuk kertas yang tak tertata rapi. Aku sempat melongo dibuatnya. Tapi tunggu, tepat pada kertas paling atas, terpampang dengan jelas foto yang amat kukenal. Foto itu tampak nyata walau aku melihatnya dalam mimpi. Aku berkeringat dingin. Tanganku tak bertenaga ketika menunjuk arah foto itu. “Siapa dia?” dan akupun tak bisa menyembunyikan getaran yang menjalar pada suaraku. Aku mati rasa untuk sesaat. Berbagai macam dugaan sibuk memunculkan diri dalam kepalaku. “Ini dia, Ned. Dia sekarang yang harus kau incar. Anak ini telah melakukan banyak sekali tindak kriminal. Kau harus menangkapnya tak peduli hidup ataupun mati” Oh, Tuhan. Dan kini kurasakan kepalaku yang berkunang. Aku tak tahu harus bilang apa kepada kepala polisi. Adalah hal mustahil jika aku mengatakan hal yang sejujurnya. Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku harus benar-benar menangkap paksa Sam? Ataukah aku dengan mudahnya menyeret dia ke penjara? Aku benci keadaan ini.

Pukul 01.00 dini hari. Sedikitpun aku tak bisa memejamkan mata ini untuk sejenak. Bayangan akan perkataan kepala polisi terus mengiang di benakku. “Kau harus bisa menangkapnya, Ned. Aku tahu kau lebih ahli dalam bidang ini. Tapi mengapa engkau ragu? Ingatlah kau pernah mengangkat sumpah saat diangkat menjadi anggota polisi, yang salah satunya menyatakan bahwa kau harus melaksanakan tugas yang diamanatkan kepadamu. Cepat laksanakan tugas ini! Aku akan mengirimkan beberapa anggota lainnya”. Aku membanting ponsel yang kupegang ke pintu. Aku harus melakukan apa untuk meyelamatkan adik kandungku? Aku merasa akulah orang yang paling sulit saat ini. Aku juga tidak bisa melanggar sumpah yang sangat aku jaga, dan tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melanggarnya.

***

Pagi ini benar-benar pagi yang terburuk yang pernah ku alami. Dimulai dari ponselku yang tak bisa menyala dan berakhir aku dimarahi habis-habisan oleh kepala polisi. Dan yang membuatku tersentak adalah, “Pergilah, Ned. Kami sudah menemukan dimana tempat tersangka berada. Para anggota yang lain sudah berada di lokasi dan mempersiapkan segalanya”

Aku telah tiba di lokasi dimana aku bisa bertemu dengan adikku secara langsung. Sebuah rumah yang kelihatan baru namun tak terawat. Berbagai macam rumput liar tumbuh dengan subur disana. Betapa bahagianya aku. Setelah sekian lama aku hanya bisa memandangi fotonya,  kini aku bahkan bisa mengatakan ‘hai’. Namun, fakta tidak berpihak kepadaku. Aku telah memikirkan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Lagipula, Sam juga tidak mengetahui bahwa dia punya kakak seorang polisi. Akankah dia membenciku setelah mengetahui kebenarannya? Seketika lamunanku terbuyar saat mendengar tembakan dari dalam rumah. “Ned, sepertinya target melawan. Namun kami telah persiapkan segalanya dengan baik.” Laporan rekanku tadi cukup membuatku cemas. Aku berharap tidak ada yang terluka nanti. Namun, dua tembakan beruntun kembali dilepaskan dari dalam rumah. Tiga orang anggota siap maju ke dalam rumah. Tak lama kemudian terdengar tembakan berkali-kali. Wajahku pucat pasi. Sam!

Aku segera berlari masuk ke dalam rumah. Kulihat dua orang rekanku terbujur kaku dan bersimbah darah. Lalu ekor mataku menangkap sesosok yang berperawakan tinggi. Aku mengamatinya lama. Tanpa sadar air mataku terjatuh. Orang itupun juga melihatku. Matanya menyiratkan bahwa dia seperti mengenaliku. Dan tanpa sadar, tangannya yang digunakan untuk mencengkeram rekanku yang satunya mengendur, sehingga memberikan kesempatan bagi rekanku untuk lolos. Namun tiba-tiba rekanku menodongkan senjata ke Sam. Dia terus bergerak maju hingga Sam pun menjatuhkan pistolnya. Dan entah apa, entah mengapa, mataku berbicara. Otakku lumpuh untuk seketika. Hatiku mengeluarkan secercah cahaya yang membuatku begitu bergelora. Refleks aku menembakkan pistolku tepat pada rekanku itu beberapa kali sampai pada akhirnya dia pun terjatuh. Aku menatap bagaimana rekanku terjatuh. Aku linglung. Apa yang barusan aku lakukan? Aku telah membunuh kawanku sendiri.

Pintu didobrak paksa dari luar. Terlihat lima orang anggotaku merangsek masuk ke dalam rumah. Mereka menatapku bergantian dengan rekan-rekan yang telah tewas. James, rekanku, maju mendekatiku dan berkata,”Apa yang kau lakukan! Cepat tembak dia!”

***

Aku mengerjap. Kurasakan sakit dan perih di pelipisku. Tembakan tadi sepertinya cukup tepat sasaran. Kulihat dengan samar rekan-rekanku sedang duduk mengelilingiku. Mereka berteriak dan menggoyang-goyang bahuku sambil menangis. Aku melihat seseorang yang dengan wajah dingin menatapku. Namun matanya seperti mengucapkan terima kasih dan rasa bersalah. Aku tersenyum dan sampai akhirnya aku menutup mataku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini